Almansors – Arsitektur Utsmani atau Ottoman telah menjadi tonggak penting dalam perkembangan desain masjid sejak abad ke-15. Gaya ini berkembang pesat di bawah kekuasaan Kekhalifahan Utsmani, terutama pada masa Sultan Suleiman dan arsitek legendaris Mimar Sinan. Ciri khasnya adalah kubah besar yang mendominasi atap, menara tinggi yang ramping, dan ruang dalam yang luas tanpa tiang tengah. Desain ini bukan hanya simbol estetika, tetapi juga mencerminkan kemegahan spiritual dan kekuatan politik Kekaisaran Utsmani. Warisan ini kini melampaui batas geografi, menginspirasi banyak arsitek modern dalam merancang masjid di berbagai penjuru dunia.
Beberapa unsur arsitektur Utsmani yang masih sering digunakan dalam masjid modern adalah kubah besar utama yang dikelilingi oleh kubah-kubah kecil, pencahayaan alami dari jendela besar berbentuk lengkung, serta mihrab dan mimbar yang dihiasi kaligrafi Islami. Elemen-elemen ini menciptakan atmosfer spiritual yang tenang dan sakral. Selain itu, penggunaan material alami seperti marmer dan kayu ukir menunjukkan dedikasi terhadap kualitas dan keindahan yang tahan lama. Tidak hanya mempertahankan nilai estetika klasik, gaya ini juga disesuaikan dengan teknologi bangunan modern tanpa menghilangkan nuansa tradisional.
“Baca juga: Asrama Horor di Jawa Timur: Kisah Shandy dan Wanita Tanpa Mata“
Masjid modern saat ini banyak mengadaptasi gaya Utsmani dengan pendekatan fungsional dan minimalis. Misalnya, kubah tetap dipertahankan sebagai simbol transendensi, namun dibuat dengan material ringan seperti baja atau serat karbon agar lebih efisien secara struktural. Menara tetap ada, namun dirancang lebih ramping dan terkadang berfungsi ganda sebagai elemen pencahayaan atau ventilasi. Sentuhan kaligrafi, pola geometris, dan ornamen floral khas Utsmani juga diintegrasikan dalam interior masjid dengan teknologi laser cutting atau cetak 3D, menunjukkan bahwa tradisi bisa hidup berdampingan dengan inovasi.
Beberapa masjid kontemporer yang mengadopsi arsitektur Utsmani antara lain Masjid Nasional Malaysia, Masjid Agung Sheikh Zayed di Abu Dhabi, dan Masjid Camlica di Istanbul. Ketiganya menggabungkan elemen klasik seperti kubah besar, halaman luas, dan mihrab ornamental, dengan sistem pencahayaan LED, pendingin udara tersembunyi, serta akustik canggih. Di Indonesia sendiri, masjid seperti Masjid Raya Sumatera Barat atau Masjid Al-Falah Surabaya juga menunjukkan adaptasi gaya ini dalam skala lokal. Penggabungan antara desain Timur Tengah dan karakteristik budaya lokal menciptakan tampilan arsitektural yang unik dan harmonis.
Gaya Utsmani bukan hanya estetika; ia memuat makna simbolik dan sosial. Kubah yang tinggi melambangkan hubungan antara manusia dan langit, sedangkan menara menjadi penanda spiritual yang mengajak umat berkumpul dalam salat. Desain masjid yang luas mencerminkan inklusivitas dan keterbukaan. Di masjid-masjid modern, fungsi-fungsi ini tetap dipertahankan—masjid tak hanya tempat ibadah, tapi juga pusat kegiatan sosial, pendidikan, dan budaya. Desain ala Utsmani memperkuat peran masjid sebagai jantung komunitas Muslim, bahkan dalam konteks perkotaan yang dinamis dan beragam.
Arsitek kontemporer memainkan peran penting dalam menjaga semangat arsitektur Utsmani agar tetap relevan. Mereka tidak hanya meniru bentuk-bentuk klasik, tetapi juga menggali filosofi di baliknya: keagungan, keseimbangan, dan keindahan. Dengan memanfaatkan software desain arsitektur canggih, arsitek kini dapat merancang kubah dan menara yang lebih presisi, efisien secara energi, dan ramah lingkungan. Beberapa bahkan memasukkan prinsip-prinsip sustainable architecture seperti pemanfaatan cahaya alami, sirkulasi udara, dan material lokal tanpa mengorbankan identitas Utsmani. Hasilnya, masjid-masjid modern tetap berakar pada sejarah, namun siap menghadapi masa depan.
Arsitektur Utsmani membuktikan bahwa warisan masa lalu bisa tetap relevan dalam dunia modern. Melalui adaptasi kreatif dan penggunaan teknologi mutakhir, gaya ini terus hidup dalam bentuk masjid-masjid baru di seluruh dunia. Tidak hanya indah secara visual, gaya ini juga menyampaikan pesan spiritual, sosial, dan budaya yang kuat. Bagi para arsitek, desainer, dan masyarakat Muslim secara umum, mempertahankan elemen Utsmani berarti menghormati sejarah sekaligus membentuk masa depan yang penuh nilai dan estetika Islam.