Jejak Sejarah Kubah yang Kini Menjadi Ikon Arsitektur Masjid
Almansors – Kubah sering dianggap sebagai ciri khas masjid, terutama di Indonesia. Banyak orang memandang bentuk bundar ini sebagai simbol arsitektur Islam. Namun, jika ditelusuri lebih jauh, Islam sebenarnya tidak memberikan aturan baku soal bentuk bangunan ibadah. Artinya, masjid tidak wajib memiliki kubah. Munculnya kubah sebagai elemen visual masjid merupakan perjalanan sejarah panjang yang tidak terlepas dari perkembangan budaya dan arsitektur dunia.
Dalam tradisi Arab, kubah dikenal sebagai qubba atau kubba, sedangkan dalam bahasa Suriah istilah ini merujuk pada bangunan setengah lingkaran. Dari bahasa Latin, kata domus—yang berarti rumah—juga berkontribusi dalam pembentukan istilah ini. Jauh sebelum Islam berkembang, elemen arsitektur berbentuk kubah sudah digunakan dalam berbagai bangunan kuno. Wilayah Mediterania, misalnya, banyak memanfaatkan struktur bundar ini sebagai atap yang memberikan kesan kokoh dan timeless.
Beberapa sejarawan bahkan meyakini kubah pertama kali digunakan oleh Suku Eskimo untuk membangun tempat tinggal di wilayah Alaska, Kanada, dan Greenland. Struktur melengkung dianggap mampu memberikan kenyamanan dan kehangatan di area bersuhu ekstrem. Temuan ini menunjukkan bahwa kubah bukan milik satu peradaban saja, melainkan bagian dari inovasi arsitektur global yang berkembang di berbagai belahan dunia.
Baca Juga : Misteri Gunung Salak: Jejak Pesawat Hilang dan Konspirasi yang Tak Pernah Padam
Dalam catatan buku Sejarah Ibadah karya Syahruddin El-Fikri, Masjid Qubbat as-Sakhrah menjadi masjid pertama yang mengadopsi atap kubah pada abad ke-7. Masjid yang berada di kompleks al-Haram asy-Syarif itu dibangun setelah Yerusalem berada dalam kekuasaan Islam di era Khalifah Umar bin Khattab. Menariknya, pembangunan ini terjadi sekitar enam bulan setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Kini, bangunan itu dikenal sebagai Masjid Kubah Batu atau Dome of the Rock, dan bentuk kubahnya jelas menunjukkan pengaruh kuat arsitektur Bizantium.
Pada masa awal kekhalifahan, para arsitek Muslim banyak berinteraksi dengan peradaban Bizantium. Tidak mengherankan jika gaya dan struktur bangunan Bizantium turut memengaruhi bentuk masjid, terutama pada bagian kubah. Gaya ini kemudian menyebar ke berbagai wilayah Islam dan lambat laun menjadi identitas visual yang melekat pada masjid-masjid di dunia.
Menurut pakar arsitektur Jeffrey O Hill, kubah memiliki fungsi yang sangat efektif karena mampu menciptakan kesan ruang yang luas. Bentuknya yang melengkung membuat sirkulasi udara lebih baik dan membantu menjaga kenyamanan dalam ruangan. Selain fungsi teknis, kubah juga menambah nilai estetika sehingga bangunan terlihat megah dan anggun. Banyak arsitek modern menganggap kubah sebagai elemen atap ideal karena sifatnya yang fleksibel dan mudah dikombinasikan dengan berbagai gaya arsitektur.
Meskipun bukan syarat syariat, kubah akhirnya berkembang menjadi simbol visual masjid yang memudahkan masyarakat mengenali rumah ibadah umat Islam. Perpaduan nilai sejarah, fungsi, dan estetika membuat kubah menjadi elemen yang terus diwariskan hingga era arsitektur modern. Dengan begitu, kubah bukan semata bentuk atap, melainkan representasi perjalanan budaya yang melintasi waktu dan peradaban.