Ilustrasi Kesultanan Malaka
Almansors – Kesultanan Malaka berdiri pada awal abad ke-15, didirikan oleh Parameswara, seorang bangsawan dari Palembang yang kemudian memeluk Islam. Letaknya yang strategis di Selat Malaka menjadikannya pusat perdagangan penting sekaligus pintu masuk pengaruh budaya dan agama. Dari sinilah cikal bakal Malaka tumbuh menjadi kerajaan maritim yang berperan besar dalam penyebaran Islam di Asia Tenggara.
“Baca juga: Hantu Bintaro: Bayangan Korban Tragedi Kereta yang Tak Pernah Tenang“
Perkembangan Islam di Malaka semakin kuat setelah raja dan bangsawan memeluk agama Islam. Para ulama dari Arab, India, dan Pasai memainkan peran penting dalam mengajarkan syariat serta membentuk struktur pemerintahan Islam. Keputusan politik ini menjadikan Malaka bukan hanya pusat dagang, tetapi juga pusat dakwah yang berwibawa di kawasan.
Letak Malaka di jalur utama perdagangan internasional memberi keuntungan besar dalam penyebaran Islam. Para pedagang Muslim dari Gujarat, Persia, dan Arab berdagang sekaligus berdakwah. Interaksi ekonomi ini mempercepat masuknya Islam ke kalangan masyarakat, baik pedagang lokal maupun rakyat biasa. Dakwah pun berkembang secara damai melalui aktivitas sehari-hari.
Selain perdagangan, Malaka berkembang menjadi pusat pendidikan agama. Madrasah, halaqah, dan majelis ilmu bermunculan di masjid-masjid besar. Ulama yang menetap di Malaka menjadi rujukan utama dalam fiqih, tafsir, dan tasawuf. Hal ini membuat Malaka berperan sebagai jembatan intelektual antara Timur Tengah, India, dan Nusantara.
Dari Malaka, ajaran Islam menyebar luas ke seluruh kepulauan Melayu, termasuk Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Filipina Selatan. Peran pedagang, ulama, dan jaringan politik kerajaan menjadikan Islam sebagai agama mayoritas di Asia Tenggara. Malaka pun diakui sebagai pusat dakwah yang mempercepat Islamisasi di kawasan maritim.
Kesultanan Malaka mengadopsi hukum Islam dalam sistem pemerintahannya. Qadi dan mufti ditunjuk untuk menangani persoalan hukum agama, sementara raja berperan sebagai pelindung syariah. Struktur ini memperkuat posisi Islam sebagai fondasi negara dan menciptakan keteraturan sosial di bawah nilai-nilai Islam.
Masjid-masjid besar di Malaka tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga pusat aktivitas dakwah dan sosial. Melalui khutbah, pengajian, dan musyawarah, masyarakat mendapat bimbingan agama secara konsisten. Masjid pun menjadi sarana penting dalam memperkuat identitas keislaman masyarakat Malaka.
“Baca selengkapnya: Nabi Adam AS: Kisah Manusia Pertama dan Umur Panjang“
Islam tidak hanya masuk dalam aspek keagamaan, tetapi juga budaya. Bahasa Melayu berkembang pesat dengan aksara Jawi, kesenian bercorak Islam tumbuh, dan sastra keagamaan meluas. Unsur budaya Islam terintegrasi dalam kehidupan sehari-hari, menjadikan Malaka sebagai model masyarakat Muslim yang maju.
Kesultanan Malaka menghadapi tantangan besar dari bangsa asing, terutama Portugis yang akhirnya menaklukkan Malaka pada 1511. Meski jatuh, semangat dakwah dan jaringan ulama yang sudah terbentuk tetap bertahan. Penyebaran Islam pun terus berlanjut melalui kerajaan-kerajaan penerus di kawasan Melayu.
Kesultanan Malaka meninggalkan warisan besar dalam sejarah Islam di Asia Tenggara. Sebagai pusat perdagangan, pendidikan, dan dakwah, Malaka berhasil menyatukan kepentingan ekonomi dengan misi penyebaran agama. Hingga kini, peran Malaka sebagai pusat dakwah tetap dikenang sebagai titik penting perjalanan Islam di Nusantara.