Ilustrasi Imam Al-Ghazali
Almansors – Imam Al-Ghazali lahir pada tahun 1058 M di Tus, Persia (sekarang Iran), dalam lingkungan keluarga sederhana. Sejak usia dini, ia sudah menunjukkan ketertarikan kuat terhadap ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang fiqih dan logika. Setelah menimba ilmu di berbagai kota besar seperti Nishapur dan Baghdad, Al-Ghazali dikenal luas sebagai pemikir cemerlang di kalangan ilmuwan dan ulama.
Salah satu kontribusi terbesar Imam Al-Ghazali adalah karyanya yang berjudul Tahafut al-Falasifah (Kekacauan Para Filsuf). Dalam buku ini, ia mengkritik para filsuf Muslim yang terlalu condong pada pemikiran Yunani klasik, seperti Avicenna dan Al-Farabi. Melalui pendekatan teologis dan logika ketat, Al-Ghazali membongkar kelemahan argumen-argumen metafisika yang bertentangan dengan ajaran Islam.
“Baca juga: Fatwa Haram Sound Horeg: MUI Jatim Larang Jika Mengganggu“
Meskipun kritiknya diarahkan kepada para filsuf Muslim, pengaruh Al-Ghazali justru menggema hingga ke dunia Barat. Pemikirannya menjadi bahan diskusi di universitas-universitas Eropa dan memengaruhi tokoh-tokoh besar seperti Thomas Aquinas. Dalam banyak literatur Barat, Al-Ghazali sering disebut sebagai pemikir yang menghidupkan kembali perdebatan antara rasionalitas dan iman di tengah dominasi filsafat rasional Aristotelian.
Setelah mengalami krisis spiritual yang mendalam, Imam Al-Ghazali memilih untuk meninggalkan popularitas dan jabatan akademik. Ia mengembara selama bertahun-tahun untuk mendalami ilmu tasawuf dan menyucikan hati. Pengalaman ini ia tuangkan dalam karya Ihya Ulumuddin, yang hingga kini dianggap sebagai salah satu karya paling berpengaruh dalam literatur Islam klasik.
Imam Al-Ghazali tidak hanya dikenal sebagai filsuf, tetapi juga sebagai pembaharu spiritual dan pemikir etis. Ia berhasil menjembatani antara dimensi akal dan hati, antara filsafat dan tasawuf. Warisannya tetap hidup melalui lembaga-lembaga pendidikan Islam dan terus menjadi rujukan dalam diskusi intelektual hingga zaman modern.