Almansors – Nama Imam Bonjol tidak hanya melekat dalam sejarah perjuangan melawan penjajahan, tetapi juga dalam semangat menyatukan umat Islam di Sumatera Barat. Ia lahir dengan nama asli Muhammad Syahab pada tahun 1772 di Bonjol, sebuah daerah di Pasaman, Sumatera Barat. Sejak kecil, ia dikenal cerdas, tekun mengaji, dan memiliki semangat keislaman yang kuat. Pendidikan agamanya diperoleh dari berbagai ulama Minangkabau, hingga akhirnya menjelma menjadi pemimpin spiritual sekaligus tokoh politik yang berani melawan penindasan kolonial Belanda.
“Baca juga: Jejak Bawah Laut di Yonaguni: Misteri Tersembunyi“
Gerakan Padri yang dipimpin oleh Imam Bonjol berawal dari semangat untuk menyucikan ajaran Islam di tanah Minangkabau. Ia terinspirasi dari gerakan pembaruan Islam di Mekkah yang kala itu tengah berkembang. Tujuannya sederhana namun mulia: memurnikan ajaran Islam dari praktik-praktik yang dianggap menyimpang, seperti judi, mabuk, dan adat yang bertentangan dengan syariat. Namun, semangat dakwah itu berkembang menjadi jihad fisik setelah campur tangan Belanda yang mencoba memecah belah umat. Imam Bonjol menegaskan bahwa perjuangan melawan penjajahan adalah bagian dari jihad fi sabilillah.
Konflik antara kaum Padri dan kaum adat awalnya adalah perbedaan prinsip dalam menjalankan ajaran Islam dan adat Minangkabau. Namun, setelah Belanda ikut campur dan berpihak pada kaum adat, peperangan berubah menjadi perjuangan melawan kolonialisme. Imam Bonjol pun menjadi simbol perlawanan umat Islam terhadap penjajahan. Ia memimpin berbagai pertempuran penting, termasuk Pertempuran Bonjol yang berlangsung selama bertahun-tahun. Meski akhirnya ditangkap dan diasingkan, semangat perjuangannya menjadi api yang tak padam dalam sejarah bangsa Indonesia.
Sebagai seorang ulama dan pemimpin, Imam Bonjol menunjukkan kemampuan luar biasa dalam menggabungkan spiritualitas dan strategi militer. Ia bukan hanya mengobarkan perang fisik, tetapi juga membangun kesadaran moral dan keagamaan di tengah masyarakat. Dalam setiap khutbah dan seruan jihadnya, ia selalu menekankan pentingnya persatuan umat Islam serta larangan untuk berpecah belah. Baginya, kekuatan umat tidak hanya ditentukan oleh senjata, tetapi juga oleh keimanan dan akhlak.
Salah satu pencapaian terbesar Imam Bonjol adalah kemampuannya merangkul berbagai elemen masyarakat Minangkabau. Di tengah benturan antara adat dan syariat, ia mencari titik temu dengan prinsip “adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.” Prinsip ini menjadi pondasi bagi harmonisasi antara tradisi lokal dan ajaran Islam. Ia sadar bahwa tanpa persatuan, kekuatan umat Islam akan mudah ditaklukkan oleh penjajahan. Upayanya menyatukan masyarakat Minangkabau menjadi salah satu warisan terbesar dalam sejarah sosial Islam di Indonesia.
“Baca juga: Teke‑Teke: Legenda Hantu Tanpa Kaki yang Membekas di Jepang“
Perjuangan Imam Bonjol tidak berhenti di kampung halamannya. Pengaruhnya meluas hingga ke Padang dan pesisir barat Sumatera, di mana ia terus menggelorakan semangat jihad dan persatuan. Di sana, ia mendirikan pusat-pusat dakwah dan pertahanan yang berfungsi sebagai benteng moral serta militer umat Islam. Dengan strategi ini, gerakan Padri menjadi lebih luas dan terorganisir, menciptakan jaringan perjuangan yang melibatkan berbagai lapisan masyarakat, dari ulama hingga rakyat biasa.
Pada tahun 1837, setelah perjuangan panjang selama hampir dua dekade, Benteng Bonjol akhirnya jatuh ke tangan Belanda. Imam Bonjol ditangkap dan diasingkan ke Cianjur, kemudian dipindahkan ke Ambon, dan akhirnya ke Manado. Di tempat pengasingannya, ia tetap disegani karena kebijaksanaannya dan keteguhannya dalam berpegang pada iman. Ia wafat pada 6 November 1864, jauh dari tanah kelahirannya, namun nama dan perjuangannya terus dikenang sebagai simbol keberanian dan keteguhan hati seorang ulama pejuang.
Warisan Imam Bonjol tidak hanya dalam bentuk sejarah perlawanan, tetapi juga dalam nilai-nilai spiritual dan moral yang relevan hingga kini. Di tengah perpecahan dan tantangan global, pesan persatuan dan jihad dalam kebaikan yang ia wariskan tetap menjadi teladan. Kita belajar bahwa jihad bukan hanya tentang perang fisik, melainkan perjuangan menegakkan kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan. Imam Bonjol mengajarkan bahwa kekuatan sejati umat Islam terletak pada persatuan, pengetahuan, dan iman yang teguh dalam menghadapi segala bentuk penindasan.