Almansors – Sejarah mencatat bahwa Kesultanan Ternate adalah salah satu kerajaan Islam tertua dan paling berpengaruh di kawasan timur Nusantara. Berlokasi di Kepulauan Maluku, tepatnya di Pulau Ternate, kerajaan ini berdiri sekitar abad ke-13. Letaknya yang strategis di jalur perdagangan internasional menjadikan Ternate sebagai simpul penting bagi para pedagang dari Arab, Gujarat, Cina, dan Eropa.
Pulau ini kaya akan rempah, terutama cengkih, yang menjadi komoditas paling berharga di dunia pada masa itu. Karena itulah Ternate dijuluki sebagai “mutiara dari timur.” Kejayaan awalnya bermula dari interaksi dagang yang kemudian membawa pengaruh Islam ke kawasan tersebut. Dari sinilah identitas baru terbentuk bukan hanya sebagai kerajaan dagang, tetapi juga sebagai pusat penyebaran Islam di Maluku.
“Baca juga: Hantu Anne Boleyn di Menara London: Legenda Cinta, Dendam, dan Kutukan Abadi“
Masuknya Islam ke Kesultanan Ternate membawa perubahan besar dalam tatanan sosial dan politik. Raja Ternate pertama yang memeluk Islam adalah Sultan Baabullah, yang kemudian menjadikan Islam sebagai agama resmi kerajaan. Masjid, lembaga pendidikan, dan hukum Islam mulai diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Para ulama dan pedagang dari Arab serta Gujarat memainkan peran penting dalam menyebarkan ajaran Islam di wilayah ini. Islam di Ternate tidak datang dengan perang, melainkan melalui perdagangan dan pernikahan lintas budaya. Pola penyebaran yang damai ini menjadikan Islam mudah diterima oleh masyarakat lokal, dan dari sinilah pengaruhnya menyebar ke kerajaan tetangga seperti Tidore, Bacan, dan Jailolo.
Pada abad ke-15 hingga 17, Kesultanan Ternate menjadi pemain utama dalam perdagangan rempah global. Cengkih dari Ternate menjadi incaran bangsa-bangsa Eropa seperti Portugis, Spanyol, dan Belanda. Nilai rempah saat itu begitu tinggi hingga sering disamakan dengan emas.
Persaingan sengit pun terjadi, bukan hanya antara kekuatan Eropa dan Ternate, tetapi juga antar kerajaan lokal di Maluku. Ternate bersaing dengan Kesultanan Tidore, yang memiliki hubungan dagang dengan Spanyol. Konflik politik dan ekonomi ini memperlihatkan betapa pentingnya posisi Maluku sebagai pusat ekonomi dunia kala itu.
Melihat era ini sebagai simbol awal globalisasi ketika ekonomi dunia mulai terhubung melalui jalur laut dan rempah menjadi mata uang universal.
Tahun 1512 menjadi titik balik besar bagi Kesultanan Ternate. Saat itu, Portugis datang dengan janji kerjasama dagang. Namun, seperti banyak kasus kolonial lainnya, hubungan ini segera berubah menjadi bentuk dominasi. Mereka membangun benteng São João Baptista di Ternate sebagai pusat kendali ekonomi dan militer.
Meskipun awalnya diizinkan oleh Sultan untuk berdagang, Portugis kemudian mencoba menguasai seluruh perdagangan rempah. Ketegangan memuncak hingga akhirnya rakyat Ternate memberontak di bawah pimpinan Sultan Baabullah Datu Syah. Pada tahun 1575, Baabullah berhasil mengusir Portugis dari Ternate, menjadikannya simbol perlawanan anti-kolonial pertama di kawasan timur Indonesia.
Pemerintahan Sultan Baabullah dianggap sebagai masa keemasan Kesultanan Ternate. Ia dikenal sebagai “Penguasa 72 Pulau,” karena pengaruh politiknya meluas hingga Filipina bagian selatan dan sebagian Papua. Di bawah kepemimpinannya, Ternate bukan hanya pusat perdagangan, tetapi juga kekuatan politik dan diplomatik yang dihormati.
Diplomasi menjadi senjata utama Baabullah. Ia menjalin hubungan dengan Inggris dan Turki Utsmani untuk menandingi dominasi Eropa lainnya. Langkah ini menunjukkan kecerdasan geopolitik seorang pemimpin lokal yang mampu memahami dinamika global jauh sebelum istilah “politik luar negeri” modern lahir.
“Baca juga: Countess Elizabeth Bathory, Pembunuh Berdarah Hungaria“
Dua kerajaan besar di Maluku, Ternate dan Tidore, memiliki hubungan ibarat dua sisi mata uang: serumpun namun sering bertentangan. Keduanya memiliki sumber daya yang hampir sama dan letak yang berdekatan. Portugis dan Spanyol memanfaatkan rivalitas ini untuk memperkuat pengaruh mereka. Portugis bersekutu dengan Ternate, sedangkan Spanyol mendukung Tidore.
Perpecahan ini menjadi cikal bakal lemahnya pertahanan lokal terhadap kekuatan kolonial yang semakin agresif. Meskipun akhirnya Ternate memenangkan banyak konflik militer, kehadiran bangsa Eropa meninggalkan luka politik dan sosial yang panjang. Rivalitas yang seharusnya menjadi kompetisi sehat, malah berubah menjadi alat penjajahan yang licik.
Seiring dengan datangnya VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) pada abad ke-17, Kesultanan Ternate perlahan kehilangan kedaulatannya. Belanda menguasai jalur perdagangan dan memaksakan perjanjian monopoli yang merugikan rakyat. Sistem politik kerajaan dilemahkan melalui perjanjian-perjanjian tidak adil yang menempatkan Sultan hanya sebagai simbol tanpa kekuasaan penuh.
Namun demikian, warisan budaya dan spiritual dari Ternate tetap bertahan. Jejak Islam yang kuat, peninggalan arsitektur masjid kuno, dan tradisi pelayaran rakyat Maluku hingga kini masih menjadi bukti kejayaan masa lalu. Dalam konteks sejarah Indonesia, Ternate adalah pilar penting dalam memahami bagaimana peradaban maritim Nusantara berinteraksi dengan dunia.
Melihat kisah Kesultanan Ternate, kita dapat memahami bahwa peradaban Nusantara sejatinya dibangun di atas interaksi global perdagangan, diplomasi, dan agama. Islam datang bukan sebagai penjajah, melainkan jembatan peradaban yang memperkuat identitas lokal. Sementara itu, perdagangan rempah menjadi medium yang mempertemukan timur dan barat dalam satu meja dagang besar dunia.
Kisah Ternate mengajarkan satu hal penting: bahwa kejayaan sejati bukan hanya tentang kekayaan atau kekuasaan, melainkan tentang kemampuan menjaga identitas dalam arus globalisasi. Di tengah dunia modern yang serba cepat, semangat maritim dan keteguhan Ternate menjadi warisan yang layak kita pelajari kembali.