Syaikh Sulaiman ar-Rasuli
Almansors – Minangkabau sejak dulu menjadi salah satu pusat perkembangan Islam di Nusantara. Pepatah “adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah” bukan sekadar slogan, melainkan filosofi hidup masyarakatnya. Namun, awal abad ke-20 membawa gelombang perubahan besar dengan masuknya pendidikan modern. Pada saat itulah Syaikh Sulaiman ar-Rasuli tampil sebagai figur penting, menjaga tradisi Islam sekaligus merespons tantangan zaman. Kehadirannya memberi warna baru dalam lanskap sosial, keagamaan, dan politik di Sumatera Barat.
“Baca juga: Misteri Nang Tani: Legenda Roh Pohon Pisang dari Thailand yang Sarat Makna“
Syaikh Sulaiman ar-Rasuli lahir pada tahun 1871 di Candung, Agam, Sumatera Barat. Sejak muda, ia menekuni ilmu agama dan kemudian melanjutkan studi ke Mekkah. Sekembalinya ke tanah air, ia menjadi ulama karismatik yang dihormati bukan hanya karena keluasan ilmunya, tetapi juga sikap bijak dalam memimpin umat. Kiprahnya dalam dunia pendidikan dan dakwah menjadikannya tokoh berpengaruh yang melampaui batas lokal, bahkan turut mewarnai arah pemikiran Islam Indonesia.
Pada 1928, Syaikh Sulaiman ar-Rasuli mendirikan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI). Organisasi ini awalnya berfungsi sebagai wadah bagi madrasah-madrasah tradisional di Minangkabau. Tujuan utamanya adalah mempertahankan tradisi pendidikan berbasis kitab kuning yang sudah lama hidup di surau. Dengan berdirinya PERTI, sistem pendidikan tradisional tidak hanya terjaga, tetapi juga memiliki struktur organisasi yang lebih kuat dan mampu bersaing dengan sekolah modern yang kala itu mulai berkembang pesat.
PERTI menempatkan pendidikan sebagai fokus utama. Madrasah yang bergabung dalam jaringan ini tetap setia pada pengajaran fikih, tauhid, tasawuf, dan ilmu alat. Namun, ada sentuhan pembaruan dalam hal manajemen dan kurikulum agar tidak tertinggal dari sekolah-sekolah modern. Syaikh Sulaiman ar-Rasuli meyakini bahwa tradisi tidak boleh hilang, tetapi tetap bisa diperbarui sesuai kebutuhan zaman. Inilah yang membuat PERTI bertahan lama dan berpengaruh luas, khususnya di Sumatera Barat.
Seiring perkembangan zaman, PERTI tidak hanya berkutat di bidang pendidikan, tetapi juga masuk ke ranah politik. Pada masa demokrasi liberal, PERTI menjadi partai politik Islam dan berpartisipasi dalam pemilu 1955. Keterlibatan ini mencerminkan pandangan Syaikh Sulaiman ar-Rasuli bahwa perjuangan umat harus hadir di berbagai lini, termasuk parlemen. Meski kemudian kekuatan politiknya meredup, sejarah mencatat bahwa PERTI pernah memberi kontribusi penting dalam demokrasi awal Indonesia.
Salah satu warisan terbesar Syaikh Sulaiman arRasuli adalah pemikiran tentang hubungan adat dan syarak. Ia menekankan bahwa adat Minangkabau harus berjalan selaras dengan syariat Islam. Pandangannya mampu menjaga harmoni antara tradisi lokal dengan nilai-nilai agama. Hingga kini, gagasannya masih relevan, menjadi rujukan dalam memahami bagaimana Islam dan budaya bisa saling melengkapi tanpa harus saling meniadakan.
“Baca selengkapnya: Kisah Mistis Penari Arwah di Gedung Terbengkalai Bangkok Masih Menyisakan Teror“
Meskipun PERTI kini tidak sebesar NU atau Muhammadiyah, warisan yang ditinggalkan tetap terasa. Lembaga pendidikan yang berafiliasi dengan PERTI masih eksis dan terus mengajarkan kitab kuning dengan metode klasik. Relevansinya di era modern adalah pengingat bahwa pendidikan tradisional tetap punya tempat penting dalam membentuk karakter umat. Nama Syaikh Sulaiman ar-Rasuli pun terus dikenang sebagai simbol keteguhan mempertahankan identitas Islam di Minangkabau.
Syaikh Sulaiman arRasuli bukan hanya ulama, melainkan juga pendidik, pemimpin, dan tokoh politik. Lewat PERTI, ia berhasil mempertahankan tradisi Islam di tengah derasnya modernisasi. Warisannya membuktikan bahwa pendidikan dan nilai budaya bisa berjalan berdampingan dengan perubahan zaman. Kisahnya memberikan pelajaran bahwa perjuangan menjaga identitas tidak pernah selesai, melainkan harus terus dilanjutkan dari generasi ke generasi.